JAWA TIMUR
Sejarah persebaran Islam di tanah Jawa tidak bisa dilepaskan dari Sunan Ampel. Tokoh Sunan Ampel bisa dibilang merupakan sosok sentral di antara para penyebar Islam yang dikenal sebagai Walisongo. Meski terdapat berbagai versi di dalam sumber-sumber tradisi terkait asal-usulnya, semua sumber tradisi bersepakat bahwa Sunan Ampel merupakan peletak dasar bagi pendidikan Islam di tanah Jawa bahkan nusantara.
Banyak sosok yang kemudian menjadi tokoh-tokoh dalam Walisongo seperti Sunan Giri di Gresik, Sunan Drajad di Lamongan, hingga Sunan Bonang di Tuban pernah mengenyam pendidikan langsung dari Sunan Ampel. Tidak hanya tokoh agama, bahkan Raden Patah yang merupakan pendiri Kerajaan Islam Demak pun merupakan santri di Ampel. Oleh karena itu, tidak heran jika kemudian sosok Sunan Ampel begitu dihormati hingga hari ini.
Lembaga pendidikan berupa pesantren sendiri kemudian terus berkembang seiring dengan persebaran Islam di Jawa. Hingga abad ke-19, pesantren merupakan institusi pendidikan formal terbesar sebelum pendidikan modern atau Barat mendominasi. Selain mengajarkan pendidikan agama, pesantren juga memberikan banyak pelajaran lain kepada peserta didiknya, mulai dari pelajaran kepemimpinan hingga kewirausahaan.
Tidak heran apabila kemudian dalam Kongres Pendidikan Nasional, para nasionalis seperti Ki Hajar Dewantara dan Dokter Soetomo meyakini bahwa sistem pesantren merupakan cetak biru bagi pendidikan nasional Indonesia untuk mencapai kemerdekaan. Menurut mereka, sistem pendidikan seperti ini telah terbukti mampu eksis dan beradaptasi dalam berbagai lintasan zaman.
Para wali pelanjut dakwah Sunan Ampel merupakan sosok-sosok yang berhasil melanjutkan upaya penyebaran Islam di tanah Jawa maupun nusantara. Menurut Babad Tanah Jawi suntingan terbaru yang dirilis oleh Universiteit Leiden disebutkan bahwa Santri Giri dan Santri Bonang merupakan santri Sunan Ampel yang hendak melanjutkan studinya hingga ke tanah suci Mekkah. Rupanya setelah bertemu dengan ayah Santri Giri di Malaka, mereka diminta untuk melanjutkan dakwah di tempat masing-masing.
Sunan Giri yang merupakan putra Blambangan kemudian memimpin daerah Giri di Gresik. Tokoh ini ternyata tidak hanya dikenal sebagai otoritas keagamaan saja melainkan juga di ranah ekonomi-politik. Pengaruh dari Sunan Giri maupun keturunannya seperti Sunan Prapen menjangkau berbagai daerah mulai dari Madura, Bawean, Kangean, Lombok, Kalimantan, hingga kepulauan lainnya di Indonesia Timur. Bahkan diaspora masyarakat muslim Maluku yang kini berdomisili di negeri Belanda masih meyakini bahwa ajaran Islam yang mereka anut merupakan tradisi dari masa Sunan Giri.
Sunan Bonang yang merupakan putra dari Sunan Ampel dikenal dengan dakwahnya yang menggunakan berbagai sarana khususnya melalui seni dan sastra. Nama bonang sendiri tak bisa dilepaskan dari nama sebuah instrumen dalam gamelan yang berbentuk seperti gong berukuran kecil. Tidak heran jika kemudian seni musik di Jawa banyak bernafaskan ajaran Islam seiring perkembangannya. Buah pemikiran Sunan Bonang juga terlestarikan dalam beberapa manuskrip yang tersimpan di berbagai perpustakaan di Eropa. Dari naskah-naskah tersebut terlihat bagaimana pemikiran para wali di Jawa sangat terhubung dengan para tokoh Islam besar di dunia ketika itu seperti Imam Al-Ghazali.
Putra Sunan Ampel lainnya yakni Sunan Drajad melangsungkan dakwahnya di sekitar Lamongan. Sama dengan santri-santri Sunan Ampel lainnya, Sunan Drajad mengajarkan Islam salah satunya melalui kesenian seperti gamelan. Terdapat gamelan yang disebut Gamelan Singo Mengkok yang diyakini merupakan peninggalan Sunan Drajad. Selain itu, Sunan Drajad juga terkenal dengan wejangannya: “Berikanlah tongkat kepada mereka yang buta, berikanlah makan kepada mereka yang lapar, berikanlah pakaian kepada mereka yang telanjang, dan berikanlah payung kepada mereka yang kehujanan”.
JAWA TENGAH
Jalur Pantai Utara Jawa termasuk jalur yang paling sibuk bahkan sebelum dibangun Jalan Raya Pos oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda H.W. Daendels. Tercatat sejak abad XIV telah terdapat komunitas masyarakat asing khususnya Tionghoa maupun keturunan Tionghoa–Jawa di kawasan ini. Kelompok tersebut memiliki kedudukan penting dalam perdagangan internasional di nusantara. Banyak sekali uang dan barang-barang keramik Tiongkok yang diimpor ke Jawa. Uang koin Tiongkok, yakni koin metal dari logam campuran dengan satu lubang di tengahnya dan digantung pada tali, menjadi alat tukar di Majapahit dan masih terus dipakai oleh masyarakat di Bali hingga kini.
Pengaruh masyarakat Tionghoa dan kelompok keturunan sangatlah kuat di pesisir utara Jawa Tengah. Persebaran Islam pada awalnya juga tidak bisa dilepaskan dari kelompok ini. Seperti bisa dilihat pada masjid-masjid kuno di kawasan Lasem, Jepara hingga Demak. Masjid Agung Demak yang dibangun pada tahun 1479 memiliki banyak karakteristik bangunan dengan teknologi Tiongkok. Salah satu tiang utama atau soko guru yang dikenal dengan nama soko tatal menunjukkan teknik yang sama dengan teknk penyambungan tiang-tiang kapal Jung atau Kapal Tionghoa. Dari gambar-gambar yang dilukis oleh penulis Eropa bisa diketahui bahwa masjid utama di Jepara memiliki bentuk atap seperti pagoda.
Di Semarang terdapat cerita tutur atau folklore yang dikaitkan dengan ekspedisi Laksamana Cheng Ho/Zheng He di Asia. Di situs Gedung Batu Semarang terdapat beberapa makam orang Tionghoa yang disebut merupakan rombongan dari Cheng Ho. Tokoh-tokoh tersebut tidak hanya dihormati oleh umat muslim saja, tetapi juga masyarakat Tionghoa pada umumnya. Selain di Semarang, terdapat tokoh muslim Tionghoa yang terkemuka lainnya yakni di Kudus. Tokoh yang disebut Kyai Telingsing merupakan salah satu pemuka agama Islam yang aktif di Kudus selain Sunan Kudus.
Sunan Kudus sendiri merupakan salah satu di antara Walisongo yang terkenal dengan kearifannya dalam berdakwah. Seperti saat mendirikan menara untuk mengumandangkan adzan, alih-alih meniru gaya Timur Tengah, Sunan Kudus justru membangun menara yang berbentuk seperti lazimnya bangunan candi Jawa. Selain itu, terdapat tradisi yang disebut berasal dari ajaran Sunan Kudus dimana kuliner berbahan daging sapi diganti dengan daging kerbau. Hal ini awalnya dilakukan untuk menghormati keyakinan masyarakat setempat yang mayoritas menganut Hindu. Dalam ajaran Hindu, sapi merupakan salah satu hewan suci sehingga tidak boleh dikonsumsi.
Dendeng Kerbau:
Terbuat dari daging kerbau pilihan di padu dengan bumbu rempah khas nusantara. Di buat dengan teknik rebus, pukul, keringkan dan di masak dengan bumbu balado yg spicy. Menjadikan dendeng balado ini sangat kaya rasa dan nikmat.
Rendang Kerbau:
Terbuat dari daging kerbau pilihan.. Di masak dengan 14 macam rempah khas Indonesia menjadikan sajian rendang yg legit dgn aroma rempah yg kuat. Dikemas menggunakan flexible pack dan teknik retort menjadikan rendang kerbau Allisha awet di suhu ruang selama lebih dari 6 bulan
Kain Ratu Utama merupakan perusahaan tenunan tangan Indonesia dan Eksportir kain tenunan tangan tradisional dan pakaian jadi yang berdiri sejak 2010 dengan pasar utama di Jepara, Jawa Tengah. Kami memproduksi kain tenun tradisional berkualitas tinggi dengan standar prosedur kontrol kualitas ketat yang didukung tim professional dan perajin tenunan tangan. Produk yang kami hasilkan ialah Ikat Troso, syal dan selendang tenun, juga produk utama kami kain Double Ikat yang memiliki motif yang sangat etnik dan bermakna.
Sejarah kebangkitan nasional tidak bisa dilepaskan dari pergerakan Islam yang terjadi di Kota Solo. Kota yang merupakan penerus dari kejayaan Mataram Islam ini memiliki peran penting dalam sejarah Indonesia. Setelah Budi Utomo tampil dalam gelanggang pergerakan, berdiri pulalah Sarekat Dagang Islam yang berdasarkan koperasi di Solo. Berawal dari kegelisahan para pedagang bumiputera terhadap monopoli perdagangan bahan-bahan batik, maka Haji Samanhudi meminta RM Tirtoadisuryo untuk memperluas kegiatan organisasinya di Jawa Tengah. Haji Samanhudi merupakan pemimpin para pedagang batik di daerah Laweyan dan sekitarnya. Menurutnya, sebuah organisasi modern diperlukan guna melawan dominasi bangsa asing.
Tak lama kemudian kehadiran organisasi ini disambut antusiasme yang besar oleh masyarakat. Tidak hanya di Solo saja bahkan para pengikut Sarekat Dagang Islam berasal dari banyak daerah dan dari berbagai latar belakang. Maka atas usul Tjokroaminoto dari Surabaya, Sarekat Dagang Islam diubah menjadi Sarekat Islam. Tujuan utama organisasi ini menjadi meluas antara lain mengorganisir masyarakat Islam agar hidup berkumpul selayaknya saudara, menggerakkan hati umat Islam supaya bersatu dan saling tolong menolong, melakukan segala daya dan upaya untuk mengangkat derajat rakyat guna kesentosaan dan kemakmuran tanah air.
Para penguasa istana Solo pada saat yang sama juga memiliki perhatian yang besar terhadap umat Islam. Seperti misalnya Pangeran Prangwedono atau Mangkunegara VII. Penguasa Pura Mangkunegara ini terkenal sebagai seorang raja progresif dan pemuka pergerakan kebangsaaan. Selain itu, ia juga memberi perhatian besar terhadap perkembangan Islam di wilayahnya. Salah satunya adalah dengan melakukan proyek renovasi Masjid Al-Wustho yang merupakan masjid utama istana Mangkunegara. Tak tanggung-tanggung, Mangkunegara VII menugaskan secara khusus Ir. Thomas Karsten sebagai arsitek untuk proyek tersebut. Thomas Karsten merupakan arsitek kenamaan ketika itu. Rancangannya dikenal adaptif dengan suasana lingkungan budaya lokal. Oleh karena itu, tak heran langgam arsitektur Masjid Al-Wustho mencerminkan perpaduan yang harmonis antara arsitektur Jawa, Timur Tengah, dan Eropa.
Dendeng Kerbau:
Terbuat dari daging kerbau pilihan di padu dengan bumbu rempah khas nusantara. Di buat dengan teknik rebus, pukul, keringkan dan di masak dengan bumbu balado yg spicy. Menjadikan dendeng balado ini sangat kaya rasa dan nikmat.
Rendang Kerbau:
Terbuat dari daging kerbau pilihan.. Di masak dengan 14 macam rempah khas Indonesia menjadikan sajian rendang yg legit dgn aroma rempah yg kuat. Dikemas menggunakan flexible pack dan teknik retort menjadikan rendang kerbau Allisha awet di suhu ruang selama lebih dari 6 bulan
Kain Ratu Utama merupakan perusahaan tenunan tangan Indonesia dan Eksportir kain tenunan tangan tradisional dan pakaian jadi yang berdiri sejak 2010 dengan pasar utama di Jepara, Jawa Tengah. Kami memproduksi kain tenun tradisional berkualitas tinggi dengan standar prosedur kontrol kualitas ketat yang didukung tim professional dan perajin tenunan tangan. Produk yang kami hasilkan ialah Ikat Troso, syal dan selendang tenun, juga produk utama kami kain Double Ikat yang memiliki motif yang sangat etnik dan bermakna.
DI YOGYAKARTA
Sejarah perkembangan Islam di Nusantara tidak mungkin bisa dilepaskan dari sosok Raja Mataram Islam, Sultan Agung Hanyokrokusumo. Sultan Agung berkuasa atas tahta Mataram sejak tahun 1613 hingga 1646. Selama lebih dari tiga dekade, pengaruh politik maupun keagamaan Mataram meluas ke seluruh Jawa bahkan hingga ke berbagai daerah lainnya. Daerah-daerah di luar Jawa yang berada di bawah pengaruh langsung dari Mataram antara lain Sukadana dan Banjarmasin di Kalimantan, Jambi dan Palembang di Sumatera, Makassar di Sulawesi hingga Hitu di Kepulauan Maluku. Kekuatan armada militer Mataram Islam di bawah Sultan Agung yang mampu menyaingi kekuatan VOC membuat kerajaan-kerajaan lainnya di Nusantara semakin menaruh hormat. Menurut Pangeran dari Jambi, mereka semakin simpati terhadap Mataram yang berjuang dengan sekuat tenaga melawan kekuasaan bangsa asing.
Bisa dibilang kekuatan militer Mataram disokong penuh oleh kemajuan sektor agraris kerajaan ini. Penguasa Mataram hanya bisa mengerahkan kawulanya untuk maju ke medan perang pada saat pasca hasil panen padi masuk di lumbung. Hal ini terjadi karena mayoritas laskar Mataram tersebut adalah para petani yang hanya bisa dimobilisasi sekitar musim kemarau. Pada saat musim penghujan, para tentara tersebut harus kembali ke sawah untuk bercocok tanam selama kurang lebih lima bulan. Dari laporan seorang diplomat Belanda, Rijklof van Goens, digambarkan betapa besarnya daerah persawahan yang dilintasinya ketika bertandang ke ibukota Mataram.
Menurut laporan tersebut, bentang alam sejak memasuki wilayah kerajaan Mataram begitu indahnya. Desa-desa dengan penduduknya tak terhitung banyaknya. Curah air begitu melimpah dan mudah didapatkan. Bangsa Jawa telah berhasil membuat saluran air dari batu untuk mengairi pancuran-pancuran tempat pemandian. Para penguasa kebanyakan memiliki kanal kecil yang disalurkan melintasi rumah mereka. Sultan Agung sendiri menginisasi proyek pembuatan bendungan Kali Opak dan membuat danau buatan di Plered. Masjid yang dibangun oleh Sultan Agung juga dikelilingi parit yang dangkal di sekitarnya. Hal ini dimaksudkan agar para pengunjung masjid diperintahkan secara halus mencuci kaki terlebih dahulu sebelum memasuki area yang suci.
Secara pribadi, Sultan Agung dikenal sebagai pemeluk Islam yang taat. Kesalehan Sultan Agung tampak dari rutinitasnya yang secara teratur pergi ke masjid untuk bersembahyang. Melihat sang raja selalu pergi ke masjid, para pembesar Kerajaan Mataram juga mengikutinya. Hal ini berbeda dengan para penguasa Jawa setelahnya dimana mereka hanya mengirimkan utusan untuk pergi bersembahyang di masjid. Pada masa kepemimpinannya, pembangunan masjid merata di semua desa di wilayah kerajaan. Keberadaan masjid yang merupakan elemen penting baik di kota maupun desa tetap diperhatikan manakala perang sedang berlangsung. Sultan Agung memerintahkan agar seorang laki-laki wajib berjaga di tiap-tiap masjid. Raja ini juga dikenal dengan kecerdasan dan kearifannya ketika ia memutuskan untuk menyesuaikan penanggalan Jawa dengan kalender Islam. Sultan Agung tidak serta merta mengganti perhitungan yang telah dipakai selama ratusan tahun melainkan cukup menyesuaikan dengan perhitungan baru yang sesuai dengan ajaran Islam.
JAWA BARAT
Berbagai kisah tradisi dan cerita tutur baik dari Jawa maupun Sunda mencatat bahwa awal Islamisasi wilayah Jawa Barat berasal dari kawasan Cirebon. Tokoh yang memegang peran utama dalam proses tersebut sesudah wafat diberi gelar Sunan Gunung Jati, sesuai dengan nama bukit di Cirebon tempat beliau dimakamkan. Sunan Gunung Jati telah mengangkat agama Islam menjadi agama yang paling besar di Jawa Barat. Sosok historis Sunan Gunung Jati juga dibuktikan dengan adanya catatan-catatan bangsa Eropa khususnya Portugis. Catatan tersebut memberitakan bahwa Sunan Gunung Jati merupakan negarawan besar dan pendiri kerajaan-kerajaan di Cirebon dan Banten.
Salah satu kunci sukses dari keberhasilan Sunan Gunung Jati adalah kepiawaiannya dalam memadukan berbagai unsur kebudayaan dari berbagai daerah. Seperti misalnya terkait wayang kulit. Meski identik dengan budaya Jawa, wayang kulit di Cirebon memiliki gayanya yang khas. Sunan Gunung Jati sebagai penguasa Cirebon memberikan keleluasaan kepada Sunan Kalijaga untuk bisa mengubahsesuaikan bentuk wayang agar lebih dapat diterima masyarakat luas di wilayahnya. Maka, tak heran terciptalah wayang khas Cirebon dimana salah satu keistimewaannya adalah memiliki 9 tokoh punakawan. Tokoh-tokoh tersebut diyakini merupakan perlambang dari 9 wali penyebar Islam atau Walisongo.
Warisan budaya lainnya yakni peninggalan Kereta Singa Barong maupun kereta Paksi Naga Liman. Komponen kereta kerajaan tersebut menggambarkan beragam unsur budaya. Terdapat belalai gajah yang merupakan simbol Hindu dari India. Kemudian terdapat bagian kepala naga yang jelas diambil dari budaya Tionghoa. Sementara bagian badan dan sayap merupakan perwujudan dari buraq dalam tradisi Timur Tengah. Kereta ini terus dipakai oleh para Sultan saat mereka berkeliling ataupun melakukan kirab di kawasan Kota Cirebon.
Kearifan lokal lainnya yang terkait dengan masa awal Islamisasi Cirebon adalah perkembangan batik di daerah ini. Berbeda misalnya dengan wilayah Surakarta ataupun Yogyakarta, warna maupun motif batik Cirebon memiliki keistimewaan tersendiri. Seperti misanya motif megamendung. Motif yang menggambarkan awan di atas langit ini kental akan perpaduan budaya Tionghoa dan Islam. Gambaran awan yang serupa dengan motif batik megamendung ini dapat dilihat dalam berbagai peninggalan material lainnya seperti keramik maupun relief-relief yang ada di masjid kuno seperti di Sendang Duwur dan Mantingan. Kemunculan motif megamendung juga kerap dikaitkan dengan riwayat Sunan Gunung Jati sendiri yang memiliki pasangan dari Tiongkok.
Pelabuhan Mura Jati di Cirebon merupakan tempat persinggahan para pendatang dari dalam dan luar negeri. Munculnya motif Batik Megamendung di Cirebon tak lepas dari kedatangan bangsa China. Sunan Gunung Jati yang menyebarkan agama Islam di wilayah Cirebon pada abad ke-16 menikahi Putri Ong Tien yang berasal dari negeri tirai bambu. Ketika datang ke Indonesia, Putri Ong Tien membawa beberapa benda seni bernilai tinggi dari China berupa keramik, piring, dan kain berhiaskan bentuk awan. Dalam budaya China motif awan memiliki makna yang melambangkan nirwana sebagai dunia yang luas, abadi, bebas dan bermakna transidental konsep ketuhanan.
Motif megamendung pada mulanya berunsurkan warna biru diselingi warna merah yang menggambarkan maskulinitas dan suasana dinamis, karena dalam proses pembuatannya ada campur tangan laki-laki, dimana Kaum laki-laki anggota tarekat yang mulai merintis tradisi batik. Warna biru dan merah tua juga menggambarkan psikologi masyarakat pesisir yang lugas, terbuka dan egaliter.
Motif megamendung menggambarkan sekumpulan awan di langit. Mega berarti awan, dan mendung artinya cuaca sejuk, dengan warna dasar merah, awan berwarna biru dan tujuh gradasi warna sebagai warna orisinil yang terkenal dari Cirebon. Warna-warna tegas tersebut merupakan filosofi yang melambangkan seorang pemimpin. Awan biru sebagai sifat seorang pemimpin yang harus bisa mengayomi seluruh masyarakat yang dipimpinnya. Gradasi tujuh warna bermakna bahwa langit terdiri dari tujuh lapis, bumi tersusun atas tujuh lapisan tanah,
dan jumlah hari dalam seminggu adalah tujuh hari.
Wayang kulit sebagai salah satu unsur budaya masyarakat memiliki peran yang penting dalam perkembangan sejarah Islam di Cirebon. Asal-usul wayang dimulai sekitar tahun 1500 SM di mana masyarakat pada saat itu meyakini bahwa setiap benda yang hidup pasti mempunyai ruh baik dan ruh jahat, kemudian wayang dibuat sebagai bentuk ilusi atau bayangan serta perwujudan dari upaya penggambaran kehidupan manusia pada umumnya. Selanjutnya, wayang menjadi bagian dari prosesi upacara keagamaan pada masyarakat Hindu dan Budha dengan ditambahkannya sesaji. Ketika Islam masuk, para Wali Songo menggunakan wayang tersebut untuk menyebarkan agama dengan menyisipkan nama-nama dan lakon/tokoh cerita yang bernafaskan Islam. 9 tokoh Punakawan melambangkan 9 orang Wali Songo yang menjalankan dakwah Islam yaitu Semar, Bagong, Ceblek, Gareng, Dawala, Cingkring, Witorata, Bagol Buntung, dan Curis.
Wayang Kulit Cirebon dibuat terutama dari kulit sapi atau kulit kerbau yang diberi kerangka dari bambu dilengkapi dengan gagang atau pegangan yang disebut “cempurit” yang berfungsi untuk menggerakkan wayang serta menancapkan wayang tersebut pada batang pisang. Setiap wayang memiliki bentuk, wajah, dan warna yang khas sesuai dengan karakteristik dan sifat masing-masing tokohnya. Wayang kulit di Cirebon juga biasa dikenal sebagai Wayang Purwa karena dipandang sebagai jenis wayang paling awal (purwa = awal/permulaan)
DKI JAKARTA
Eksistensi Jakarta tak bisa dilepaskan dari sejarah penyebaran Islam di Nusantara. Pada saat Kerajaan Demak dipimpin oleh Pangeran Trenggana, bangsa Portugis mulai menancapkan kekuasaannya di Selat Malaka. Tak lama kemudian mereka juga mengincar untuk mendirikan bandar di Laut Jawa khususnya di daerah yang bernama Sunda Kelapa. Demak tidak hanya berpangku tangan melihat rencana Portugis tersebut. Maka dikirimlah bala tentara untuk membendung pengaruh bangsa Eropa di Sunda Kelapa. Bala tentara Demak itu dipimpin oleh panglima muslim Fatahillah yang berasal dari Pasai.
Kekuatan Fatahillah rupanya tidak hanya berasal dari Demak saja. Masyarakat muslim dari Cirebon yang terdiri atas kelompok Melayu dan Jawa ikut serta dalam upaya mempertahankan Sunda Kelapa dari cengkeraman Portugis. Pada akhirnya konflik antara dua kekuatan besar yakni Demak dan Portugis menjadi tak terelakkan. Berkat dukungan masyarakat muslim yang massif, bala tentara Demak berhasil menghalau Portugis untuk bisa berkuasa atas Sunda Kelapa. Untuk memperingati peristiwa tersebut, Fatahillah memberikan nama Jayakarta yang berarti kemenangan yang tercapai.
Sejak ramainya perdagangan internasional di kawasan Laut Jawa, wilayah Jayakarta pun juga ikut merasakan efeknya. Masyarakat dari berbagai bangsa berduyun-duyun mendiami kota ini. Apalagi ketika Jan Pieterszoon Coen mendirikan Batavia sebagai pusat imperium Kongsi Dagang Belanda di Hindia Timur, VOC. J.P. Coen memindahkan pos dagang utama VOC dari Maluku ke Batavia karena memiliki letak yang lebih strategis dalam jalur pedagangan global. Meski pengaruh Eropa semakin membesar sejak berdirinya Batavia, perkembangan Islam di wilayah ini terus bertumbuh.
Hal ini terbukti dengan berdirinya Masjid Kebon Jeruk dan Masjid Angke. Masjid Kebon Jeruk didirikan pada tahun 1786 oleh kelompok Tionghoa Muslim. Di situs ini terdapat juga makam istri dari seorang pemimpin komunitas Muslim atau Kapiten Tionghoa. Terdapat keunikan dari nisan makam ini yakni memakai aksara Arab dan huruf dari Tiongkok. Sementara di Masjid Angke sendiri masih bisa dilihat bagaimana berbagai unsur budaya berpadu di sana. Misalnya pengaruh unsur budaya Jawa terdapat dari bentuk tumpeng atap dan penggunaan soko guru untuk tiang utama masjid. Jika mengamati konstruksi pada bagian atas bangunan, maka tampak sekali gaya yang sering ditemui di klenteng-klenteng Tionghoa. Selain itu, pengaruh Eropa juga terlihat dari bagian pintu, jendela, dan ventilasi.
BANTEN
Sejarah Kesultanan Banten tidak bisa dilepaskan dari sosok Sunan Gunung Jati. Maulana Hasanudin merupakan putra dari Sunan Gunung Jati dan sering dianggap merupakan pemimpin pertama dari Kesultanan Banten. Tokoh ini sering pula disebut dengan nama Pangeran Saba/Seba Kingking sesuai dengan nama daerah tempat beliau dimakamkan. Ketika berkuasa, Maulana Hasanudin meneruskan usaha ayahnya dalam menyebarkan agama Islam maupun memperluas pengaruh kerajaannya. Tidak hanya di ujung barat Jawa, kekuasaan Banten meluas hingga Lampung dan Sumatera Selatan.
Wilayah Banten yang semakin meluas ini terkenal sebagai penghasil produk pertanian dan perkebunan yang baik. Di antara salah satu produk utamanya adalah beras dan lada. Tentunya komoditas tersebut tidak bisa dihasilkan hanya mengandalkan kesuburan tanah saja. Terdapat usaha pengelolaan air dalam skala masif dan teknologi yang mutakhir telah dirintis para penguasa Kesultanan Banten. Maulana Yusuf yang merupakan pengganti Maulana Hasanudin dikenal dalam berbagai naskah tradisi maupun catatan Bangsa Eropa sebagai pemimpin Banten yang memperluas usaha irigasi maupun pembuatan saluran air atau kanal di daerah kekuasaannya.
Penguasa Banten paling terkemuka dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa. Nama Tirtayasa sendiri secara harfiah bermakna sang pembangun pengairan. Sang Sultan tidak hanya melanjutkan proyek pengairan yang telah dirintis para penguasa sebelumnya saja, melainkan berperan penting dalam menggerakkan dan mengawasi berjalannya proyek-proyek tersebut. Beberapa proyek yang tercatat berlangsung pada masa kekuasaannya antara lain pembuatan terusan dari Tanara -Pasilihan melalui Balaraja, pembuatan saluran air antara Pontang-Tanara sehingga membuka lahan yang dulunya terlantar menjadi sawah yang produktif, membangun bendungan di Sungai Ciujung dan membelokkannya ke arah Terusan Tirtayasa guna pengairan sawah di lokasi tersebut. Selain itu, Sultan Ageng Tirtayasa disebutkan memiliki keinginan untuk memesan sejumlah kincir angin untuk keperluan irigasi.
Tidak hanya untuk kepentingan pertanian dan perkebunan saja, pembangunan saluran air atau kanal juga dibuat untuk kepentingan infrastruktur perkotaan. Maulana Yusuf telah membangun suatu saluran air yang menghubungkan Bendungan Tasik Ardi dengan Kraton atau istana sultan. Uniknya di antara saluran air tersebut terdapat suatu sistem filter yang disebut sebagai pangindelan. Melihat pola kanal-kanal di sekeliling istana, banyak ahli meyakini bahwa bagian hilir kanal tersebut tidak hanya dipakai untuk irigasi melainkan juga sebagai sarana transportasi. Gambaran yang dibuat oleh bangsa Eropa juga memperkuat hal itu. Disebutkan bahwa di dalam pusat kota Banten, terdapat kanal dimana perahu-perahu dapat merapat hingga di sebelah utara alun-alun kota.
Pakaian muslim muslimah dengan tema "Warisan Banten" ini menampilkan harmonisasi perpaduan 2 (dua) wastra Banten sekaligus yaitu Tenun Baduy dan Batik Banten dalam tampilan yang terlihat modern namun tetap islami.
Motif suat songket dari Tenun Baduy yang 'clean' nampak terjalin selaras dengan motif gerbang keraton Surosowan dari Batik Banten yang ‘iconic’. Nuansa warna tanah yang natural menjadi pilihan yang menampilkan kesederhanaan dalam kemewahan.
Hal ini sesuai dengan ciri khas brand ARAMARA sebagai UMKM Mitra Binaan Bank Indonesia Banten, yaitu “Local Touch, Modern Look”.
Berawal dari rangkaian inovasi varian menu Kue Pie tradisional, diantaranya Pie Kebab, Pie Pillow, varian terbaru Pie Bites tercipta dari inovasi produk dalam rangka memenuhi permintaan pasar snack atau cemilan yang bisa dinikmati semua usia kapan saja.
Pie Bites adalah snack unik yang terbuat dari bahan-bahan premium & berkualitas.
Puff pastry dengan topping almond yang gurih dan aneka pilihan dipping sauce, diantaranya: Coklat, Caramel, Nutella, sangat pas dinikmati dengan secangkir kopi atau teh bersama orang tercinta.
Pie Bites ukuran Pouch dengan berat 60g, pas dibawa di tas untuk menemani beraktifitas.
Masa kadaluarsa 6 bulan.
Born and raised in a cashew nut producing area in Indonesia to be precise in Wonogiri Regency, the Owner is familiar with cashew nuts. Currently Onwer is focused on developing the produce of his hometown into delicious, delicious snacks. And until now, it hassucceeded in producing cashew nut variants into 5 avors. Apart from that, he also uses healthy foods
such as almonds and walnuts as an opportunity to produce his own natural, vegan friendly snacks.